Profesionalisme dapat diartikan sebagai suatu tingkah laku, suatu tujuan atau rangkaian kualitas yang menandai atau melukiskan corak suatu “profesi”. Profesionalisme juga mengandung pengertian menjalankan suatu profesi untuk keuntungan atau sumber penghidupan. Sementara itu, suatu pekerjaan bisa disebut professional apabila memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
- Profesionalisme menghendaki sifat mengejar kesempurnaan hasil (perfect result), sehingga kita dituntut untuk selalu mencari peningkatan mutu.
- Profesionalisme memerlukan kesungguhan dan ketelitian kerja yang hanya dapat diperoleh melalui pengalaman dan kebiasaan.
- Profesionalisme menuntut adanya ketekunan dan ketabahan, yaitu sifat tidak mudah puas atau putus asa sampai hasil maksimal tercapai.
- Profesionalisme memerlukan integritas tinggi yang tidak tergoyahkan oleh “keadaan terpaksa” atau godaan iman seperti harta dan kenikmatan hidup.
- Profesionalisme memerlukan adanya kebulatan pikiran dan perbuatan, sehingga terjaga efektivitas kerja yang tinggi
Menurut T. Raka Joni pengertian guru porfesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia akan dapat dan mampu melakukan tugas dengan memiliki kemampuan yang maksimal. Atau dengan kata lain, guru professional orang yang terdidik dan terlatih dengan baik, serta memiliki pengalaman yang kaya dibidangnya.
Yang dimaksud dengan terdidik dan terlatih bukan hanya memperoleh pendidikan formal saja tetapi juga harus menguasai berbagai strategi atau teknik di dalam kegiatan belajar mengajar serta menguasai landasan-landasan kependidikan seperti yang tercantum dalam kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru yang professional. Sedangkan kompetensi tersebut adalah :
1. Kompetensi Pribadi.
Dalam kompetensi ini seorang guru dituntut untuk memiliki kemampuan pengembangan kepribadian yang meliputi :
a. Mengembangkan kepribadian
b. Berinteraksi dan berkomunikasi
c. Melaksanakan bimbingan dan penyuluhan
d. Melaksanakan administrasi sekolah
e. Melaksanakan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran
2. Kompetensi Profesional.
Dalam kompetensi professional ini, guru dituntut memiliki hal-hal sebagai berikut :
Dalam kompetensi professional ini, guru dituntut memiliki hal-hal sebagai berikut :
a. Menguasai landasan kependidikan
b. Menguasai bahan pengajaran
c. Menyusun program pengajaran
d. Melaksanakan program pengajaran
e. Menilai hasil dan proses belajar mengajar yang telah di laksanakan.
Kajian Lengkap Kompetensi Personal Seorang Guru
Uzer Usman mengemukakan persyaratan-persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang guru professional. Persyaratan-persyaratan tersebut adalah :
- Menuntut adanya ketrampilan yang berdasarkan konsep dan teori ilmu pengetahuan yang mendalam.
- Menekankan pada suatu keahlian dalam bidang tertentu sesuai dengan bidang profesinya.
- Menuntut adanya tingkat pendidikan yang memadai.
- Adanya kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari pekerjaan yang dilaksanakannya.
- Memiliki kode etik, sebagai acuan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
Atas dasar persyaratan tersebut, jelaslah jabatan professional guru harus di tempuh melalui jenjang pendidikan yang khusus mempersiapkan jabatan tersebut.
Menurut Danim, kata professional merujuk pada dua hal. Pertama, berarti orang, badan atau lembaga yang menyandang suatu profesi tertentu. Orang yang professional biasanya melakukan pekerjaan secara otonom dan dia mengabdikan diri pada pengguna jasa dengan disertai rasa tanggung jawab atas kemampuan profesionalnya tersebut. Istilah otonom di sini bukan berarti menafikan kolegialitas, melainkan harus diberi makna bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh seorang penyandang profesi itu benar-benar sesuai dengan keahliannya. Kedua, berarti kinerja atau performance seseorang dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesinya. Pada tingkat tinggi, kinerja itu dimuati unsur-unsur kiat atau seni yang menjadi ciri tampilan professional seorang penyandang profesi. Seni atau kiat itu umumnya tidak dapat dipelajari secara khusus meskipun dapat saja diasah melalui latihan.
Danim mengartikan profesionalisme sebagai komitmen para anggota suatu profesi untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya dan terus-menerus mengembangkan strategi-strategi yang digunakannya dalam melakukan pekerjaan sesuai dengan profesinya itu. Profesionalisme merupakan proses peningkatana kualifikasi atau kemampuan para anggota penyandang suatu profesi untuk mencapai kriteria standar ideal dari penampilan atau perbuatan yang diinginkan oleh profesinya itu.
Danim memberikan petunjuk untuk melihat apakah seorang guru dikatakan professional atau tidak, dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, dilihat dari tingkat pendidikan, minimal dari latar belakang pendidikan atau jenjang sekolah tempat dia menjadi guru. Kedua, penguasaan guru terhadap materi bahan ajar, mengelola proses pembelajaran, mengelola siswa, melakukan tugas bimbingan, dan lain-lain. Dilihat dari perspektif latar belakang pendidikan, kemampuan professional guru SLTP dan SMU di Indonesia masih sangat beragam, mulai dari yang tidak berkompeten sampai yang berkompeten.
Dalam hubungannya dengan keterangan di atas, Semiawan mengetengahkan hirarkhi profesi tenaga kependidikan, yaitu :
- Tenaga Profesional merupakan tenaga kependidikan yang berkualifikasi pendidikan sekurang-kurangnya S1 (atau yang setara dengannya), dan memiliki wewenang penuh dalam perencanaan, pelaksanaan, penilaian dan pengendalian pendidikan/pengajaran. Tenaga kependidikan yang termasuk dalam kategori ini juga berwenang untuk membina tenaga kependidikan yang lebih rendah jenjang profesionalnya.
- Tenaga Semi Profesional merupakan tenaga kependidikan yang berkualifikasi pendidikan tenaga kependidikan D3 (atau yang setara dengannya) yang telah berwenang mengajar secara mandiri, tetapi masih harus melakukan konsultasi dengan tenaga kependidikan yang lebih tinggi jenjang profesionalnya, baik dalam hal perencanaan, maupun pelaksanaan, penilaian dan pengendalian pendidikan /pengajaran.
- Tenaga Paraprofesional merupakan tenaga kependidikan yang berkualifikasi pendidikan tenaga kependidikan D2 ke bawah, yang memerlukan pembinaan dalam hal perencanaan, pelaksanaan, penilaian dan pengendalian pendidikan /pengajaran.
Dalam konteks profesionalisasi, istilah profesi dapat dijelaskan dengan tiga pendekatan, yaitu a) pendekatan karakterisitk, b) pendekatan institusional dan c) pendekatan legalistik.
Pendekatan karaterisitik memandang bahwa profesi mempunyai seperangkat elemen inti yang membedakannya dari pekerjaan lainnya. Hasil studi beberapa ahli mengenai sifat atau karakteristik profesi itu menghasilkan kesimpulan berikut ini:
- Kemampuan intelektual yang diperoleh melalui pendidikan. Pendidikan yang dimaksud adalah jenjang pendidikan tinggi. Termasuk dalam kerangka ini, pelatihan-pelatihan khusus yang berkaitan dengan keilmuan yang dimiliki seorang penyandang profesi.
- Memiliki pengetahuan spesialisasi.
- Memiliki pengetahuan praktis yang dapat digunakan langsung oleh orang lain atau klien.
- Memiliki teknik kerja yang dapat dikomunikasikan atau comunicable.
- Memilki kapasitas mengorgasnisasikan kerja secara mandiri atau self organization
- Mementingkan kepentingan orang lain (altruism).
- Memiliki kode etik.
- Memiliki sanksi dan tanggung jawab komunita.
- Mempunyai sistem upah.
- Budaya profesional.
Pendekatan institusional ( the institutional approach ) memandang profesi dari segi proses institusional atau perkembangan asosiasional. Maksudnya, kemajuan suatu pekerjaan ke arah pencapaian status ideal suatu profesi dilihat atas dasar tahap-tahap yang harus dilalui untuk melahirkan proses perlembagaan suatu pekerjaan menuju profesi yang sesungguhnya. Hasibuan (1978) mengemukakan lima langkah untuk memprofesionalkan suatu pekerjaan :
- Memunculkan suatu pekerjaan yang penuh waktu atau full time, bukan pekerjaan sambilan. Sebutan full time mengandung makna bahwa penyandang profesi menjadikan suatu pekerjaan tertentu sebagai pekerjaan utamanya. Tidak berarti bahwa tidak ada kesempatan baginya untuk melakukan usaha kerja lain sebagai pekerjaan tambahan yang menghasilkan penghasilan tambahan pula.
- Menetapkan sekolah sebagai tempat menjalani proses pendidikan atau pelatihan. Jenis profesi tertentu hanya dihasilkan oleh lembaga pendidikan tertentu pula, misalnya hakim, jaksa, dan pengacara dihasilkan oleh fakultas hukum; dokter dihasilkan oleh fakultas kedokteran, biolog dihasilkan oleh fakultas biologi, dan sebagainya.
- Mendirikan asosiasi profesi. Bentuk asosiasi itu bisa bermacam-macam, seperti Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI), dan sebagainya.
- Melakukan agitasi secara politis untuk memperjuangkan adanya perlindungan hukum terhadap asosiasi atau perhimpunan tersebut. PGRI misalnya mempunyai Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang pendiriannya dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap guru. Sayangnya, saat ini LBH PGRI tidak pernah terdengar lagi.
- Mengadopsi secara formal kode etik yang ditetapkan. Kode etik merupakan norma-norma yang menjadi acuan seorang penyandang pekerjaan profesional dalam bekerja.
J.White sedikit berbeda dengan Wilensky mengemukakan lima tahap memprofesionalkan suatu pekerjaan:
- Menetapkan perkumpulan profesi. Perkumpulan profesi merupakan sebuah organisasi yang keanggotaannyaterdiri atas orang-orang yang seprofesi atau seminat.
- Mengubah dan menetapkan pekerjaan itu menjadi suatu kebutuhan. Kebutuhan yang dimaksudkan di sini adalah bahwa pekerjaan itu dibutuhkan masyarakat, umumnya dalam bentuk jasa atau layanan khusus yang bersifat khas.
- Menetapkan dan mengembangkan kode etik. Kode etik merupakan norma-norma yang menjadi acuan pelaku. Kode etik itu bersifat mengikat bagi penyandang profesi, dalam makna, bahwa pelanggaran kode etik berarti mereduksi martabat profesinya.
- Melancarkan agitasi untuk memperoleh dukungan masyarakat. Dukungan di sini bermakna pengakuan. Tidak jarang pula suatu organisasi atau kelompok profesi mempunyai kekuatan khusus (bargaining power) yang diperhitungkan masyarakat, penguasa, dunia kerja dan lain-lain.
- Secara bersama mengembangkan fasilitas latihan. Fasilitas latihan merupakan wahana bagi penyandang profesi untuk mengembangkan kemampuan profesionalnya menuju sosok profesi yang sesungguhnya.
Tahap-tahap untuk memprofesionalkan suatu pekerjaan di atas, tidak mutlak dilakukan secara rijid. Artinya, tidak mutlak harus “menetapkan pekerjaan terlebih dahulu”. Melainkan dapat diawali dengan mendirikan sekolah-sekolah atau universitas sebagai wahana pendidikan.
Ad c) Pendekatan Legalistik
Pendekatan legalistik (the legalistic approach), yaitu pendekatan yang menekankan adanya pengakuan atas suatu profesi oleh negara atau pemerintah. Suatu pekerjaan disebut profesi jika dilindungi undang-undang atau produk hukum yang ditetapkan pemerintah suatu negara. Menurut M.Friedman, pengakuan atas suatu pekerjaan agar menjadi suatu profesisungguhan dapat ditempuh melalui tiga tahap, yaitu(1) registasi (registration), (2) sertifikasi (certification) dan lisensi (licensing).
Dari berbagai teori di atas, peneliti akan memakai konsep yang merupakan paduan dari beberapa teori. Sehubungan dengan itu, kesimpulan yang dapat diambil adalah yang dimaksud profesionalisme guru yaitu tugas guru sebagai profesi, yang mampu menguasai landasan pendidikan, menguasai bahan pengajaran, menyusun program pengajaran, dan menilai hasil proses belajar mengajar. Indikatornya adalah merencanakan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, menilai kemajuan proses belajar mengajar, dan memanfaatkan hasil penilaian kemajuan belajar dalam penyempurnaan proses belajar mengajar. Sejalan dengan itu, menurut Sahertian, yaitu:
- Kemampuan menguasai bahan pelajaran yang disajikan
- Kemampuan mengelola program belajar mengajar
- Kemampuan mengelola kelas
- Kemampuan menggunakan media/sumber belajar
- Kemampuan menguasai landasan-landasan kependidikan
- Kemampuan mengelola interaksi belajar mengajar
- Kemampuan mengenal fungsi dan program layanan bimbingan dan penyuluhan
- Kemampuan mengenal fungsi dan program pelayanan bimbingan dan penyuluhan
- Kemampuan mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah
- Kemampuan memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil-hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran.
Dalam keseluruhan kegiatan pendidikan di tingkat operasional, guru merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya pada tingkat institusional, instruksional, dan eksperiensial. Hal ini mengandung makna bahwa upaya meningkatkan mutu pendidikan harus dimulai dari aspek guru dan tenaga kependidikan lainnya baik yang menyangkut kualitas keprofesionalannya maupun kesejahteraan dalam satu manajemen pendidikan yang profesional. Guru adalah pengendali kendaraan mencapai keterwujudan unggulan manusia berdasarkan motivasi instrinsik menuju pada kinerja yang akuntabel, berkualitas dan otonom sebagai manusia yang bermartabat, bukan hanya sebagai manusia yang harus mengisi keseimbangan antara supply dan demand.
Paradigma baru dalam pendidikan di sekolah mengisyaratkan aktualisasi keunggulan kemampuan manusia yang kini masih terpendam. Pendidikan mengacu kepada perkembangan dan keterwujudan kemampuan manusia atau Human Capacity Development (HCD) sepanjang hayat yang berhak dan mampu memilih berbagai peran dalam meraih berbagai peluang partisipasi dalam kehidupan, berkewajiban pengetahuan, ketrampilan, dan sikap pribadi, serta pengalaman dalam bidang pendidikan. Kompetensi mengacu kepada kemampuan menjalankan tugas-tugas pelayanan pendidikan secara mandiri. Kemampuan yang dimaksud berbentuk perbuatan nampak, yang dapat diamati, yang dapat diukur. Perbuatan yang nampak tersebut didasari antara lain oleh : pengetahuan, asas, konsep, prosedur, teknik, keputusan, pertimbangan, wawasan, sikap serta sifat-sifat-sifat pribadi. Guru di dalam menjalankan tugas-tugas pekerjaannya akan baik bila didasarkan pada kompetensi, yaitu berbagai kemampuan yang harus dikuasai.
Guru merupakan suatu profesi, yaitu pekerjaan yang menuntut keahlian. Artinya, pekerjaan sebagai guru tidak bisa dilakukan oleh orang yang tidak terlatih dan tidak disiapkan secara khusus terlebih dahulu untuk melakukan kegiatan tersebut dituntut keahlian atau kompetensi sebagai guru (guru mata pelajaran, guru praktik, guru pembimbing dan guru kelas)
Profesi merupakan pekerjaan atau karir yang bersifat pelayanan keahlian dengan tingkat ketepatan yang tinggi untuk kebahagian pelanggan berdasarkan norma-norma yang berlaku. Dengan orientasi seperti ini, suatu profesi perlu mengembangkan dan menegakkan hal-hal berikut :
- Ilmu dan teknologi, merupakan dasar dan andalan bagi terselenggaranya pelayanan suatu profesi. Penguasaan ilmu dan teknologi selain harus diperoleh di perguruan tinggi, juga memerlukan waktu yang cukup lama. Agar penerapan dasar-dasar keilmuan dan teknologi itu, disertai aspek-aspek nilai dan sikap profesional benar-benar terlaksana, pelayanan ini diarahkan, dibimbing, dan dijaga oleh kode etik yang secara khusus disusun untuk profesi yang dimaksud.
- Untuk dapat melaksanakan profesinya, seorang tenaga profesi harus memiliki visi dan misi secara luas dan mendalam dalam bidang profesinya, dapat melakukan aksi pelayanan secara tepat dan akurat, disertai dedikasi yang tinggi untuk kepentingan pelanggan. Visi, misi, aksi dan dedikasi, akan menjamin terlaksananya profesi secara terarah.
- Suatu profesi perlu didukung oleh (a). pelayanan yang tepat, (b) pelaksana yang bermandat, dan (c) pengakuan yang sehat dari berbagai pihak yang terkait. Ketiga hal tersebut akan menjamin tumbuh-subur dan kokohnya identas profesi yang dimaksud.
- Salah satu ciri suatu profesi ialah keseragaman, antara lain dalam pemakaian istilah. Dengan keseragaman ini mencerminkan kematangan ilmu dan teknologi, keterarahan dan ketepatan layanan, serta ketegasan kode etik suatu profesi.
- Kesimpangsiuran dalam pemahaman, pelaksanaan kegiatan, serta penilaian dan supervisi terhadap implementasi suatu profesi tidak boleh terjadi.
- Hal-hal tersebut di atas mengimplikasikan bahwa suatu profesi diperlukan:
- Pendidikan prajabatan untuk memberikan modal dasar bagi (calon) tenaga profesi, serta pendidikan dalam jabatan untuk setiap kali menyegarkan tenaga profesi tersebut terhadap perkembangan ilmu dan teknologi serta berbagai aspek dalam bidang profesi yang dimaksud.
- Pemberian kesempatan yang luas bagi dipraktikkannya profesi serta perlindungan yang memadai. Kesempatan dan perlindungan ini ditunjukkan ke dua arah, yaitu tumbuh dan kembangnya profesi itu sendiri, dan demi terjaganya para pelanggan dari kegiatan-kegiatan mal-praktik oleh orang-orang yang menjalankan profesi yang dimaksud.
- Organisasi profesi yang mampu ikut serta dalam menumbuhkembangkan profesi, mulai dari pendidikan prajabatan, pelayanan di lapangan, sampai dengan pengembangan kesempatan dan perlindungan terhadap keseluruhan implementasi profesi yang dimaksud.
Sebagai suatu profesi, pendidikan dan pembelajaran yang dilakukan oleh guru, harus merebut kepercayaan publik (public trust) melalui peningkatan kualitas guru dan kualitas layanan pendidikan dan pmbelajaran. Public trust menjadi faktor kunci bagi mengokohkan identitas profesi. Seiring dengan upaya tersebut, sebagai suatu profesi, guru harus selalu meningkatkan dirinya dan pelayanannya sesuai tuntutan perkembangan zaman.
Profesionalisme guru pada umumnya dan guru Madrasah Aliyah pada khususnya untuk dapat melakukan pekerjaan secara lebih profesional dalam era peradaban di abad ke -21 adalah merupakan tuntutan yang harus dapat diwujudkan. Profesionalisme adalah menunjuk kepada komitmen para guru sebagai anggota suatu profesi untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya dan terus menerus mengembangkan strategi-strategi yang digunakannya dalam melakukan pekerjaan sesuai dengan profesinya.
Guru dengan komitmen yang tinggi untuk selalu menggunakan setiap kesempatan dan waktu -sekarang – dan di mana pun – di sini – untuk selalu belajar menjadi guru yang profesional sehingga akan mampu mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dalam era peradaban baru di abad ke-21. Belajar yang dimaksud di sini adalah belajar menjalankan tugas-tugas profesional guru, yaitu melaksanakan pendidikan dan pembelajaran.
Guru adalah tenaga profesional yang dituntut untuk menguasai kemampuan selidik reflektif: selalu bertanya, menjawab pertanyaan, mempertanyakan termasuk mempertanyakan jawaban dan mempertanyakan pertanyaan anda itu sendiri. Setiap kali guru menjumpai konsep, asas, kaidah dan teknik hendaknya merasakan telah menemukan alat dan dengan merasakan diri selaku guru. Oleh karena itu, mereka harus mempunyai komitmen yang tinggi untuk dapat meningkatkan ketrampilan yang memungkinkan dalam (1) mengidentifikasi dan mengatasi masalah, (2) berpikir kreatif, (3) berpikir kritis (adaptable), (4) produktif, (5) mengambil keputusan, (6) higher order thinking complex, (7) kemampuan kerja sama antara guru, (8) kecermatan mengolah informasi yang makin canggih.
Untuk dapat menjalankan tugas dan peranannya, mereka harus memiliki karakteristik yang menunjang tugasnya, antar lain interest pada semua orang, sabar, sensitif terhadap sikap dan reaksi orang lain, stabil emosinya, obyektif, menghargai fakta, sifat yang layak dipercaya, memenuhi janji, bertanggung jawab terbuka, mengerti terhadap dirinya, dan memiliki tanggung jawab professional. Ini semua tentunya mengacu kepada kepribadian yang matang dan ideal. Di samping itu juga harus mempunyai sifat-sifat bersahabat, penuh kasih sayang, penuh pengertian, rasa hormat dan kepercayaan terhadap martabat individu, sikap penerimaan, permisif, empati, perasaan humor, pikiran sehat, obyektif dan bebas dari prasangka, serta memiliki kedewasaan dalam berpikir.
Guru adalah paedagogis atau pelayan anak- pelayan yang terhormat, yang memanusiakan manusia. Dalam pengertian ini, seorang guru adalah abdi manusia.
Guru harus digugu dan ditiru (dipercaya dan diteladani). Guru tidak boleh hanya sebagai pentransfer ilmu, seperti layaknya robot atau malah hanya sekedar perangkat elektronik macam audio visual. Guru harus memiliki nilai-nilai keguruan seperti ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, dan tut wuri handayani.
Tugas guru masa sekarang dan masa depan semakin berat, tetapi menggairahkan. Tugas guru yang berat itu tidak dapat diselenggarakan dengan cara dan persiapan seadanya, melainkan memerlukan usaha yang benar-benar matang. Profesionalisasi guru akan menjamin terselenggaranya pelayanan yang baik. Melalui usaha profesionalisasi ini pekerjaan guru ditekuni, diangkat, dan diperjuangkan oleh para pecintanya menjadi profesi yang mandiri, terpisah, duduk sama rendah- sama tinggi dengan profesi lainnya. Untuk itu diperlukan kasatuan, keuletan, keluwesan, dan vitalitas profesional dalam membina dan mendisiplinkan para anggota dalam berbicara dengan pihak-pihak yang berwenang serta dengan sesama anggota profesi.
Tugas guru memang berat, karena tidak hanya memintarkan (kognitif) dan membuat terampil (psikomotor) bagi peserta didik, tetapi yang lebih penting adalah menyiapkan peserta didik menjadi manusia seutuhnya, yang berbudi pekerti luhur (afektif) dalam segenap peranannya di masa yang akan datang. Guru mempunyai tugas personal, tugas sosial dan tugas profesional. Tugas personal atau tugas pribadi menyangkut pribadi guru, itulah sebabnya setiap guru menatap dirinya dan memahami konsep dirinya. Guru itu digugu dan ditiru. Seorang guru harus mampu berkaca pada diri sendiri. Bila ia berkaca pada diri sendiri, ia akan melihat bukan satu pribadi, tetapi ada tiga pribadi, yaitu saya dengan konsep diri saya (self concept), saya dengan ide diri saya (self idea), dan saya dengan realita diri saya (self reality). Setelah mengajar guru perlu mengadakan refleksi diri. Ia bertanya kepada diri saya sendiri, apakah ada hasil yang diperoleh dari anak didiknya ?
Tugas sosial, yaitu guru mempunyai misi yang diemban adalah misi kemanusiaan. Mengajar dan mendidik adalah tugas kemanusiaan manusia. Guru mempunyai tugas sosial tugas guru adalah mengabdi pada masyarakat. Oleh karena itu tugas guru adalah tugas pelayanan manusia. Tugas profesional, yaitu guru sebagai profesi, maka guru harus melaksanakan peran profesi. Sebagai profesi guru memiliki kualifikasi profesional, yaitu menguasai ilmu pengetahuan, ketrampilan, yang akan diberikan kepada peserta didik dengan hasil yang baik.
Prospek jabatan guru dan eksistensinya di masa depan amat tergantung kepada kemampuan dan profesionalismenya. Bagaimana guru dalam melakukan unjuk kerja profesinya ? Unjuk kerja adalah proses perilaku kerja guru sehingga menghasilkan sesuatu yang menjadi tujuan pekerjaan profesinya. Unjuk kerja profesional merupakan tuntutan bagi guru apabila ia memang ingin disebut sebagai tenaga profesional. Guru sebagai tenaga profesional hendaknya komitmen untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya dan terus menerus mengembangkan strategi-strategi yang digunakan dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesinya.
Profesionalisme guru hendaknya dapat ditunjukkan oleh lima unjuk kerja, yaitu : (1) keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati standar ideal, (2) meningkatkan dan memelihara profesi, (3) keinginan untuk senantisa mengejar kesempatan pengembangan profesional dan dapat meningkatkan dan kualitas pengetahuan dan ketrampilannya, (4) mengejar kualitas dan cita-cita profesi, (5) memiliki kebanggaan terhadap profesinya.
Profesionalisme guru juga harus dibangun minimal oleh tiga pilar yang menjadi “soko guru” profesi guru yaitu (1) prestise sosial yang berwujud pengakuan dan penghargaan dari masyarakat, (2) prestise material dalam bentuk jaminan imbalan jasa dan perlindungan profesi baik oleh masyarakat maupun pemerintah, (3) prestise profesional dengan ciri keandalan layanan program pendidikan di lapangan dengan titik berat pada penguasaan kompetensi. Ketiga pilar andalan tersebut hendaknya berjalan seiring, selaras penuh keseimbangan dan bahu membahu membentuk konfigurasi profil guru yang ideal.
Guru sebagai pendidik profesional mempunyai citra yang baik di masyarakat apabila dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia layak menjadi panutan atau teladan masyarakat sekelilingnya. Masyarakat terutama akan melihat bagaimana sikap dan perbuatan guru sehari-hari, apakah ia memang patut diteladani atau tidak, bagaimana guru meningkatkan layanannya, meningkatkan pengetahuannya, memberi arahan dan dorongan kepada peserta didiknya, dan malahan bagaimana guru berpakaian dan berbicara serta bergaul dengan siswa, teman-temannya serta anggota masyarakat, seiring menjadi perhatian masyarakat luas.
Profil guru masa depan adalah yang relevan dengan tuntutan pengembangan dan dijiwai oleh nilai-nilai luhur Pancasila. Untuk itu semua lembaga pendidikan harus mampu mengungkap tuntutan masyarakat dalam keadaannya yang sedang berkembang sekarang dan memadukannya dengan Pancasila sebagai filsafat dan moral dalam menyiapkan guru untuk masa depan itu, dalam menghadapi tantangan masa depan, profesi guru harus mampu mengembangkan teori dan praktik yang benar-benar mantap. Teori dan praktik pendidikan harus mengubah dirinya dari keterikatan pada peranan tradisional kepada peranan yang aktif dan efesien untuk semua orang yang memerlukannya. Untuk itu semua lembaga pendidikan guru harus mampu mengungkapkan tuntutan masyarakat dalam keadaan yang berlangsung sekarang dan memadukannya dengan Pancasila sebagai filsafat dan moral dasar dalam menyiapkan guru untuk masa depan itu.
Dalam upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan peranan guru mengalami perluasan yaitu guru sebagai : pelatih (coaches), konselor, manajemen pembelajaran, partisipan, pemimpin, pembelajar, dan pengarang. Sebagai pelatih, guru harus memberikan peluang yang sebesar-besarnya bagi siswa untuk mengembangkan cara-cara pembelajarannya sendiri sesuai dengan kondisi masing-masing. Guru hanya memberikan prinsip-prinsip dasarnya saja dan tidak memberikan satu cara yang mutlak. Dengan menggunakan analogi di bidang olah raga, pelatih hanya memberikan petunjuk dasar-dasar permainan, sementara dalam permainan itu sendiri para pemain akan mengembangkan kiat-kiatnya sesuai dengan kemampuan dan kondisi yang ada. Sebagai konselor, guru harus mampu menciptakan situasi interaksi belajar mengajar, di mana siswa melakukan perilaku pembelajaran dalam suasana psikologis yang kondusif dan tidak ada jarak yang kaku dengan guru. Di samping itu guru diharapkan mampu memahami kondisi setiap siswa dan membantunya ke arah perkembangan yang optimal. Sebagai manajer pembelajaran, guru memiliki kemandirian dan otonomi yang seluas-luasnya dalam mengelola keseluruhan kegiatan belajar mengajar dengan mendinamiskan seluruh sumber-sumber penunjang pembelajaran. Sebagai partisipan, guru tidak hanya berperilaku mengajar akan tetapi juga berperilaku belajar dari interaksinya dengan siswa. Hal ini mengandung makna bahwa bukanlah satu-satunya sumber belajar bagi anak, akan tetapi ia sebagai fasilitator pembelajaran siswa. Sebagai pemimpin, diharapkan guru mampu menjadi seorang yang mampu menggerakkan orang lain untuk mewujudkan perilaku menuju tujuan bersama. Di samping itu sebagai pengajar, guru harus mendapatkan kesempatan untuk mewujudkan dirinya sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam berbagai kegiatan di luar mengajar. Sebagai pembelajar, guru harus secara terus menerus belajar dalam rangka menyegarkan kompetensinya serta meningkatkan kualitas profesionalnya. Sebagai pengarang, guru harus selalu kreatif dan inovatif menghasilkan berbagai karya yang akan digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas profesionalnya. Dalam menghadapi tantangan desentralisasi pendidikan dan peningkatan mutu pendidikan, kreativitas dan kemandirian guru sangat diperlukan agar mampu beradaptasi dengan berbagai perubahan yang ada.
Dalam mewujudkan kinerja guru, secara ideal beberapa karakteristik citra guru yang diharapkan antara lain sebagai berikut : pertama, guru yang memiliki semangat juang yang tinggi disertai kualitas keimanan dan ketaqwaan yang mantap. Semangat yang merupakan landasan utama bagi perwujudan perilaku guru dalam melaksanakan tugas profesionalnya. Kedua, guru yang mampu mewujudkan dirinya dalam keterkaitan dan padanan dengan tuntutan lingkungan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perwujudan diri para guru hendaknya berorientasi pada tuntutan perkembangan lingkungan dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ketiga, guru mampu belajar dan bekerjasama dengan profesi lain. Dalam melaksanakan fungsinya, setiap unsur tidak berbuat sendirian, tetapi harus berinteraksi dengan unsur lain yang terkait melalui suasana kemitraan yang bersifat sistematis, sinergis dan simbiotik. Keempat, guru yang memiliki etos kerja yang kuat. Etos kerja merupakan landasan utama bagi kenerja semua aparat dalam berbagai jenis dan jenjang pendidikan. Pembinaan dan pengembangan profesionalitas guru senantiasa mengacu pada etos kerja yang mencakup disiplin kerja, kerja keras, menghargai waktu, berprestasi, sikap kerja, dan sebagainya. Kelima, guru yang memiliki kejelasan dan kepastian pengembangan jenjang karir citra guru profesional hanya dapat berkembang dengan baik apabila disertai dengan pengembangan karir secara jelas dan pasti. Semua karya fungsional para guru hendaknya mempunyai dampak bagi prospek peningkatan karirnya di masa yang akan datang, baik dalam status maupun martabat dan hak-haknya. Keenam, guru yang berjiwa profesionalisme tinggi. Pada dasarnya profesionalisme itu merupakan motivasi instrinsik sebagai pendorong mengembangkan dirinya ke arah perwujudan profesional. Ketujuh, guru memiliki kesejahteraan lahir dan batin, material dan non-material. Kesejahteraan lahir dan batinmerupakan kebutuhan hakiki bagi setiap individu. Kedelapan, guru yang memiliki wawasan masa depan. Sesuai dengan cita-citanya, manusia Indonesia harus mampu hidup sejahtera dan lestari di masa depan. Kesembilan, guru harus mampu melaksanakan fungsi dan peranannya secara terpadu. Dalam keterapaduan ini, guru diharapkan menjadi inti dari seluruh kegiatan roda pengelolaan pendidikan.
Mengingat besarnya peran guru agama Islam pada tingkat institusional dan instruksional, maka manajemen pendidikan dalam rangka otonomi daerah harus memprioritaskan manajemen guru. Isu utama sekarang ini berkenaan dengan manajemen guru adalah bagaimana menciptakan suatu pengelolaan pendidikan yang memberikan suasana kondusif serta memberikan jaminan kesejahteraan dan pengembangan karirnya. Manajemen guru mencakup fungsi-fungsi berkenaan dengan : (1) profesionalisme, standar, sertifikasi, dan pendidikan prajabatan, (2) rekruitmen dan penempatan, (3) promosi dan mutasi, (4) gaji, insensif, dan pelayanan, (5) supervisi dan dukungan profesional.
Kinerja pendidikan akan efektif hanya mungkin terwujud apabila para guru mendapat peluang yang besar untuk memberdayakan dirinya dalam suasana paradigma pendidikan dan bukan dalam paradigma birokratis yang kaku atau paradigma lainnya. Manajemen guru harus menempatkan guru dalam posisi yang tepat sebagai insan pendidikan dan keseluuhan penyelenggaraan kegiatan pendidikan. Hak-hak asasi guru sebagai pribadi, pemangku profesi keguruan, anggota masyarakat, dan warga negara perlu mendapat prioritas dalam desentralisasi pendidikan. Guru harus menempati posisi sentral dalam arti pemberdayaan secara profesional dan proporsional. Guru harus diperankan sebagai subyek dan bukan obyek. Jadi, kalau dikehendaki terjadinya proses peningkatan mutu pendidikan dalam konteks desentralisasi pendidikan, mulailah dari komponen guru kemudian komponen lainnya.
Kebijakan pendidikan harus ditopang oleh pelaku pendidikan yang berada di front terdepan yaitu guru melalui interaksinya lewat pendidikan. Semua kebijakan pendidikan bagaimanapun bagusnya tidak akan memberikan hasil optimal sepanjang guru tidak mendapat kesempatan untuk mewujudkan otonomi paedagogisnya yaitu kemandirian dalam memerankan fungsinya secara proporsional dan profesional.
Kemandirian guru akan tercermin dalam perwujudan kinerja guru sebagai pribadi, sebagai warga masyarakat, sebagai pegawai, dan sebagai pemangku jabatan profesional. Kemandirian guru didukung oleh kualitas pribadi yang ditandai dengan penguasaan kompetensi tertentu, konsistensi terhadap pendiriannya, kreatif dalam berpikir dan bertindak, dan memiliki komitmen yang kuat terhadap tanggung jawabnya di bidang pendidikan. Guru yang mandiri dan percaya diri mampu merencanakan perjalanan hidup serta mewujudkannya secara efektif. Guru yang inovatif dan kreatif akan mampu menghasilkan berbagai buah karya yang lebih bermakna dalam dunia pendidikan bagi dirinya sendiri, bagi orang lain, masyarakat, bangsa dan negara.
Guru diharapkan memiliki jiwa profesionalisme, yaitu sikap mntal yang senantiasa mendorong untuk mewujudkan dirinya sebagai petugas profesional. Pada dasarnya profesionalisme itu, merupakan motivasi instrinsik pada diri guru sebagai pendorong untuk mengembangkan dirinya ke arah perwujudan profesional. Sisi lain dapat menunjang kinerja guru yang mandiri dan efektif ialah kualitas kesejahteraan yang mencakup : imbal jasa, rasa aman, kondisi kerja, hubungan antar pribadi, dan kepastian karir.
Otonomi daerah pada dasarnya memberi peluang yang besar untuk lebih mendekatkan pendidikan dan peran-peran guru pada sasaran terdepan. Pengelola satuan pendidikan dan para guru akan lebih dekat dengan satuan dan aktivitas pendidikan sehingga lebih berdaya dalam memberikan kontribusinya. Guru akan memiliki otonomi yang lebih luas dalam melaksanakan tugas-tugas profesionalnya dan berkurangnya keterpasungan birokrasi yang selama ini dialami. Dengan sendirinya kondisi ini akan dapat memberikan dampak terhadap peningkatan kesejahteraan guru yang pada gilirannya dapat meningkatkan mutu pendidikan.
Sekolah sebagai sistem harus menekankan proses belajar mengajar sebagai pemberdayaan siswa, yang dilakukan melalui interaksi prilaku guru dan prilaku siswa, baik di ruang maupun di luar kelas. Karena proses belajar mengajar merupakan pemberdayaan siswa, maka penekanannya bukan sekedar mengajarkan sesuatu kepada siswa dan kemudian menyuruhnya mengerjakan soal agar memiliki jawaban baku yang dianggap benar oleh guru, akan tetapi proses belajar mengajar yang mampu menumbuhkan daya kreasi, daya nalar, daya keingintahuan, dan eksperimentasi untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru memberikan keterbukaan terhadap kemungkinan-kemungkinan baru, menumbuhkan demokrasi, memberikan kemerdekaan, dan memberikan toleransi terhadap kekeliruan-kekeliruan akibat kreativitas berpikir. Mencermati rumitnya proses pengelolaan pembelajaran sebagaimana dikemukakan di atas, maka untuk mencapai hasil belajar mengajar yang optimal diperlukan guru yang profesional. Soetjipto dan Raflis Kosasi menyatakan bahwa keprofesionalan seorang guru dapat diukur dari kehandalannya dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengelola proses pembelajaran di kelas. Keandalan kerja yang dimaksud dapat dilihat dari segi : (1) mengetahui, memahami, dan menghayati apa yang harus dikerjakan sebagai guru; (2) memahami mengapa dia harus melakukan pekerjaannya itu ; (3) memahami serta menghormatibatas-bats kemampuan dan kewenangannyadan menghormati profesi lain; (4) mewujudkan pemahaman dan penghayatannya itu dalam perbuatan mendidik, mengajar, membimbing dan melatih.
Lebih lanjut Soetjipto mengemukakan bahwa empat jenis kompetensi, yakni: (1) mempunyai pengetahuan tentang belajar dan tingkah laku manusia, (2) mempunyai pengetahuan dan menguasai bidang studi yang dibinanya, (3) mempunyai sikap yang tepat tentang diri sendiri, sekolah, teman sejawat, dan bidang studi yang dibinanya, serta (4) mempunyai ketrampilan dalam teknik mengajar. Pendapat yang serupa dikemukakan oleh Richey dalam Piet Sahertian, bahwa ada lima hal yang harus dikuasai oleh guru, yaitu : (1) bekerja dengan siswa secara individual; (2) persiapan dan perencanaan mengajar; (3) pendayagunaan alat pelajaran ; (4) melibatkan siswa dalam pengalaman belajar, dan (5) kepemimpinan aktif dari guru.
Bertolak dari pendapat di atas, maka kompetensi guru dapat dibagi menjadi tiga bidang yaitu pertama, kemampuan dalam bidang kognitif, artinya kemampuan intelektual, seperti penguasaan mata pelajaran, pengetahuan mengenai cara mengajar, pengetahuan mengenai belajar dan tingkah laku individu, pengetahuan tentang bimbingan konseling, pengetahuan tentang administrasi kelas, pengetahuan tentang cara menilai hasil belajar siswa, pengetahuan tentang kemasyarakatan serta pengetahuan umum. Kedua, kemampuan dalam bidang sikap artinya kesiapan dan kesediaan guru terhadap berbagai hal yang berkenaan dengan tugas dan profesinya, misalnya sikap menghargai pekerjaannya, mencintai dan memiliki perasaan senang terhadap mata pelajaran yang dibinanya, sikap toleransi terhadap sesama teman profesinya, memiliki kemauan keras untuk meningkatkan hasil pekerjaannya. Ketiga, kemampuan perilaku, artinya kemampuan guru dalam berbagai ketrampilan dan berperilaku, yaitu ketrampilan mengajar, membimbing, menilai, menggunakan alat bantu pengajaran, bergaul atau berkomunikasi dengan siswa, ketrampilan menyusun persiapan, perencanaan mengajar dan ketrampilan melaksanakan administrasi kelas.
Kompetensi profesional sesungguhnya dapat dilihat dari dua segi, yaitu : (1) profil kompetensi, yang mengacu kepada berbagai aspek kompetensi yang dimiliki seseorang tenaga profesional kependidikan, (2) spektrum kompetensi, yang mengacu kepada variasi kualitatif dan kuantitatif perangkat kompetensi yang dimiliki oleh korps tenaga kependidikan yang dibutuhkan untuk mengoperasikan dan mengembangkan sistem pendidikan.
Dengan demikian, paling tidak ada 10 kompetensi dasar yang harus dimiliki guru yaitu :
- Kemampuan menguasai bahan pelajaran yang disajikan.
- Kemampuan mengelola program belajar mengajar
- Kemampuan mengelola kelas.
- Kemampuan menggunakan media/sumber belajar
- Kemampuan menguasai landasan-landasan kependidikan
- Kemampuan mengelola interaksi belajar-mengajar
- Kemampuan menilai prestasi siswa untuk kependidikan pengajaran
- Kemampuan mengenal fungsi dan program pelayanan bimbingan dan penyuluhan.
- Kemampuan mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah
- Kemampuan memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil-hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran.
Untuk membentuk guru yang kompeten, haruslah mampu mengembangkan ketiga kompetensi pada dirinya, yaitu (1) kompetensi diri; adalah sikap pribadi guru yang berjiwa Pancasila yang mengagungkan budaya bangsa Indonesia, yang rela berkorban bagi kelestarian bangsa dan negara, (2) kompetensi profesional ; adalah kemampuan dalam penguasaan akademik dan terpadu dengan kemampuan mengajarnya sekaligus sehingga guru memiliki wibawa akademis, dan (3) kompetensi kemasyarakatan; adalah kemampuan yang berhubungan dengan bentuk partisipasi sosial seorang guru dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat tempat ia bekerja, baik secara formal maupun secara informal.
Dalam sajian yang lebih fokus, Marion Edman dalam Sahertian mengemukakan bahwa tugas profesional guru mencakup aspek ; (1) menguasai psikologi anak, (2) bertanggungjawab dalam membina disiplin, (3) evaluator dan konselor siswa, (4) pengemban kurikulum yang sedang dilaksanakan, (5) penghubung antara sekolah dengan masyarakat, orang tua, (6) selalu mencari dan menyelidiki pengetahuan dan ide-ide yang baru untuk melengkapi informasinya.
Sedangkan tugas personal, guru harus mampu berkaca pada dirinya sendiri, dan dalam tugas sosialnya, guru diharapkan memiliki komitmen dan konsern terhadap masyarakat dalam peranannya sebagai agen pembaharuan dan pencerahan.
Oleh karena luasnya lingkup kemampuan profesional guru, maka landasan teoritis yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada lima unjuk kerja, yaitu : (1) keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati standar ideal, (2) meningkatkan dan memelihara profesi, (3) keinginan untuk senantiasa mengejar kesempatan pengembangan profesional dan dapat meningkatkan dan memperbaiki kualitas pengetahuan dan ketrampilannya, (4) mengejar kualitas dan cita-cita dalam profesi, dan (5) memiliki kebanggaan terhadap profesinya. Dengan kelima unjuk kerja ini akan diketahui tingkat kompetensi pribadi, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial guru.
Referensi
Pandji Anoraga, Psikologi Kerja, Jakarta: Rineka Cipta, 2001.
T. Raka Joni, Pengelolaan Kelas, P3G Jakarta: Depdikbud, 1980.
AA. Wahab, Politik Pendidikan dan Pendidikan Politik: Model Pendidikan Kewarganegaraan Indonesia Menuju Warganegara Global, Bandung: IKIP Bandung, 1996.
Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2002, Cet.ke-14.
Sudarman Danim, Inovasi Pendidikan Dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kependidikan, Bandung: Pustaka Setia, 2002.
T. Raka Joni, Pengelolaan Kelas, P3G Jakarta: Depdikbud, 1980.
AA. Wahab, Politik Pendidikan dan Pendidikan Politik: Model Pendidikan Kewarganegaraan Indonesia Menuju Warganegara Global, Bandung: IKIP Bandung, 1996.
Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2002, Cet.ke-14.
Sudarman Danim, Inovasi Pendidikan Dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kependidikan, Bandung: Pustaka Setia, 2002.
Semiawan Joni R.T, R. Conny, dan Soedirjanto, Mencari Strategi dan Pengembangan Pendidikan Nasional Menjelang Abad 21, Jakarta: PT. Grasindo, 1991.
Malayu Hasibuan , Menejemen Dasar, Pengertian dan Masalah, Jakarta: Gunung Agung, 2002
J.White, Education and The Good Life: Beyond the National Curriculum, London: Kogan Page, 1990.
J.M. Juran, Kepemimpinan Mutu: Pedoman Peningkatan Mutu Meraih Keunggulan Kompatitif, Jakarta: PPM, 1995.
R.E. Freeman, Menejemen Strategik: Pendekatan terhadap Pihak-pihak Berkepentingan, Jakarta: PPM, 1991.
Piet. A. Sahertian, Profil Pendidik Profesional, Yogyakarta: Andi Offset, 1994.
Mungin Eddy Wibowo, Paradigma Bimbingan dan Konseling, Semarang: Balai Penataran Guru Depdiknas, 2002.
A.Suryadi, Mutu Pendidikan Persekolahan dalam perspektif dalam Mimbar Pendikan , Jurnal Pendidikan No.2 Tahun IX, Bandung: University Press IKIP Bandung, 1990.
W.R. Houston, R.T. Clif, H.J. Freiberg dan A.R. Wamer, Touch The Future Teach, St. Paul: West Publishing Co, 1998.
A.Suryadi dan H.A.R.Tilaar, Analisis Kebijakan Pendidikan:Suatu Pengantar, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1997.
S.Pramoetadi, Antisipasi Penyelenggaraan Proyek Pendidikan Guru Sekolah Menengah, Jakarta: Dikdasmen, 1994.
M.Ansyar, Proses Pendidikan Guru dalam Arus Perubahan dalam Mimbar Pendidikan, Jurnal Pendidikan No.3 Tahun XIII, Bandung:University Press IKIP Bandung, 1994,
A.Sanusi, et al, Studi Pengembangan Model Pendidikan Profesional Tenaga Kependidikan, Laporan Penelitian, Bandung: IKIP Bandung, 1991
D.Supriadi, Profesi Konseling dan Keguruan, Bandung: PPs IKIP Bandung, 1997
Jr. Louis Gertner, et.al, Reinventing Education: Intrepreneurship in America’s Public School, New York:Apakah Plime Book, 1995
H.A.R.Tilaar, 50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional, 1945 – 1995: Suatu Analisa Kebijakan, Jakarta: Grasindo, 1995
H.A.R.Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasional, Bandung: Remaja Karya, 1992
Tb.A.Syamsuddin, Sistem dan Proses Manajemen Nasional Pendidikan Indonesia, Makalah, Bandung: IKIP Bandung, 1994
Soetjipto dan Raflis Kosasi, Profesi Keguruan, Kerjasama dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta: Rineka Cipta, 1999